Kamis, 11 November 2010

Khitan dalam Islam

Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah  bersabda, "Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).
Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan:
"Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll.)"
Khitan juga berarti memotong kulit yang menutupi kepala penis.Menurut definisi di atas, maka tidak ada penambahan tertentu dalam pelaksanaan khitan itu melebihi dari sekadar memotong kulit yang menutupi kepala penis.
Sedangkan menurut syar'i,adalah memotong bulatan bagian ujung hasyafah ,yaitu tempat pemotongan kulit yang menutupi kepala dzakar yang juga menjadi tempat konsekuensi dari hukum syariat.Sebagaimana hadist diatas.
Pertama kali yang melaksanakan khitan adalah Nabi Ibrahim AS.Beliau melakukan khitan ketika berusia 80 tahun.Ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Huroiroh  bahwa Nabii Ibrahim AS melakukan khitan ketika berumur 80 tahun.
Dalam riwayat lain terdapat tambahan,"Ibrahim adalah yang pertama-tama menjamu tamu dan yang pertama-tama mengenakan celana,serta orang pertama yang khitan."
I. Hikmah khitan
Khitan mengandung hikmah relegius yang agung daan dampak higienis yang banyak sebagaimana telah diungkapkan oleh para ulama dan para dokter

Diantara hikmah-hikmah relegius itu adalah:
a) Khitan merupakan pangkal fitrah,syiar islam dan syariat.
b) Khitan merupakan salah satu media bagi kesempurnaan agama yang disyariatkan Allah  lewat lesan Ibrahim AS.
c) Khitan sebagai pembeda kaum muslim dengan pengikut agama lain.
d) Khitan merupakan pernyataan ubudiyah (ketetapan mutlaq) terhadap Allah ,ketaatan melakukan perintah,hukum,dan kekuasaanNya.

Diantara dampak higienis(ilmu kesehatan) ialah:
a) Dengan memotong Qulfah atau kulup seorang anak, ia akan terbebas dari endapan yang mengandung lemak, dan lendir-lendir yang sangat kotor. Ini dapat menekan serendah mungkin terjadinya peradangan pada kemaluan, dan proses pembusukan yang diakibatkan oleh endapan lendir-lendir tersebut.
b) Dengan terpotongnya Qulfah, batang kemaluan akan bebas dari kekangan semasa terjadi ketegangan (ereksi)
c) Dengan khitan kemungkinan terserang penyakit kanker sangat kecil. Realitas menunjukan penyakit kanker penis ternyata banyak diderita oleh orang yang tidak di khitan. Dan jarang sekali menimpa bangsa-bangsa yang syariat agamanya memerintahkan agar pemeluknya berkhitan.Proses terjadinya kanker kelamin adalah ketika kemaluan tidak dikhitan, maka kulub yang ada di bagian depan kemaluan tersebut selalu menyisakan air kencing yang keluar. Air kencing tersebut membawa endapan-endapan yang dalam waktu yang lama akan menutupi bagian saluran air kencing sehingga menyebabkan dis-fungsi.
Maka dengan dikhitannya kulub ini, kemungkinan mengendapnya sisa-sisa air kencing tidak ada lagi karena selalu dibersihkan setiap kali kencing. Sisa-sisa endapan air kencing inilah yang berdasarkan penelitian merupakan sebab utama terjadinya kanker kelamin.Begitu juga penderita penyakit berbahaya aids, kanker alat kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di Eropa dan AS melakukan khitan.
d) Bila secepatnya mengkhitan sang anak, berarti kita telah menghindarkan dari kebiasaan ngompol di tempat tidur. Penyebab utama anak mengompol ditempat tidur pada malam hari karena qulfahnya terasa gatal dan keruh (tergelitik).
e) Dengan khitan anak terhindar dari bahaya melakukan onani. Apabila qulfah masih ada, maka lendir-lendir yang tertumpuk dalam gulfah, ini dapat merangsang syaraf-syaraf kemaluan dan mengelitik ujung kemaluan yang merupakan daerah sensitif terhadap rangsangan (stimulus). Maka dia akan sering menggaruknya. Bila hal ini terus berjalan sampai usia puber, maka dia akan semakin sering mempermainkannya sehingga akhirnya kebiasaan itu meningkat pada onani.
Para dokter mengatakan secara tidak langsung khitan berpengaruh pada daya tahan sek. Oleh sebagian lembaga ilmiah pernah diadakan suatu sensus mengenai hal ini. Hasilnya menunjukan bahwa orang yang berkhitan mempunyai kemampuan seks yang cukup lama dibandingkan orang yang tidak dikhitan. Falh Gray juga menyatakan berdasarkan penelitiannya, orang yang khitan memiliki ketahanan lebih lama dibanding orang yang tidak dikhitan dalam melakukan hubungan suami istri (al-Halwani :46).

II. Hukum Khitan

Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan baik untuk lelaki maupun perempuan.

 Hukum khitan untuk lelaki:

Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik. Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.
Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah. Namun bagi imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.
Ibnu Qudamah dalam kita`nya Mughni mengatakan bahwa "khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan,"andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudlu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.


Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.

1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan.
2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah seperti mencukur bulu ketiak dan memendekkan kuku, maka secara logis khitan juga sunnah.
3. Hadist Ayaddad bin Aus, Rasulullah  bersabda:"Khitan itu sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan. Namun kata sunnah dalam hadist sering diungkapkan untuk tradisi dan kebiasaan Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini termasuk yang wajib.

Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitab wajib adalah sebagai berikut:

1. Dari Abu Hurairah Rasulullah  bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.
3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah  berkata kepada Kulaib: "Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah Rasulullah  menunjukkan kewajiban.
4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitab wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yalg sangat kuat hukumnya.
5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
6. Khitan merupakan tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah  sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.


 Khitan untuk perempuan

Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib.
Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya.
Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah.
Hadist paling populer tentang khitan perempuan adalah hadist Ummi 'Atiyah r.a., Rasulllah  bersabda kepadanya:"Wahai Umi Atiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan, sesungguhnya khitan lebih baik bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya". Hadist ini diriwayatkan oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dlaif dan tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini untuk menunjukkan kedlaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.
Mengingat tidak ada hadist yang kuat tentang khitan perempuan ini, Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi'iyah dan riwayat dari imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada anjuran khitan bagi perempuan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa perempuan Timur (kawasan semenanjung Arab) dianjurkan khitan, sedanekan perempuan Barat dari kawasan Afrika tidak diwajibkan khitan karena tidak mempunyai kulit yang perlu dipotong yang sering mengganggu atau menyebabkan kekurang nyamanan perempuan itu sendiri.

 Apa yang dipotong dari perempuan ?

Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.
Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam dalam melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memotong bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutib Dr. Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam bukunya tentang khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan banyak terjadi di masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut berupa pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi juga memotong hingga semua daging yang menonjol pada alat vital perempuan, termasuk clitoris sehingga yang tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun". Beberapa kajian medis membuktikan bahwa khitan seperti ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan maupun psikmlogis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan mengurangi gairah seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan bahwa khitan model ini juga bisa menyebabkan berbagai pernyakit kelamin pada perempuan.
Seandainya hadist tentang khitan perempuan di atas sahih, maka di situ pun Rasulullah . melarang berlebih-lebihan dalam menghitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah . secara hukum bisa mengindikasikan keharaman tindakan tersebut. Apalagi bila terbukti bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan keharaman tindakan tersebut.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas beberapa kalangan ulama kontemporer menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan khitan perempuan secara benar, terutama bila itu dilakukan terhadap anak perempuan yang masih bayi, yang pada umumnya sulit untuk bisa melaksanakan khitan perempuan dengan tidak berlebihan, maka sebaiknya tidak melakukan khitan perempuan. Toh tidak ada hadist sahih yang melandasinya.

III. Waktu khitan

Waktu wajib khitan adalah pada saat balig, karena pada saat itulah wajib melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab suci yang yang merupakan syarat sah sholat tidak bisa terpenuhi.
Adapun waktu sunnah adalah sebelum balig. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh seytelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga dianjurkan pada umur 7 tahun. Qadli Husain mengatakan sebaiknya melakuan khitan pada umur 10 tahun karena pada saat itu anak mulai diperintahkan sholat. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa khitan pada umut 7 hari hukumnya makruh karena itu tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah . menghitan Hasan dan Husain, cucu beliau pada umur 7 hari, begitu juga konon nabi Ibrahim mengkhitan putera beliau Ishaq pada umur 7 hari.
Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, dimana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda, maka ketika itu sakitnya lebih terasa. Dan Rasulullah  apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit keburukannya dari pada anak yang sudah besar.Juga lebih afdhal/utama bila khitan ini dilakukan ketika anak masih kecil,sebab lebih cepat sembuhnya dan agar si anak tumbuh di atas keadaan yang paling sempurna.



IV. Walimah Khitan

Walimah artinya perayaan. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Nawawi dan Qadli Iyad bahwa walimah dalam tradisi Arab ada delapan jenis, yaitu :
1) Walimatul Urush untuk pernikahan;
2) Walimatul I'dzar untuk merayakan khitan;
3) Aqiqah untuk merayakan kelahiran anak;
4). Walimah Khurs untuk merayakan keselamatan perempuan dari talak, konon juga digunakan untuk sebutan makanan yang diberikan saat kelahiran bayi;
5) Walimah Naqi'ah untuk merayakan kadatangan seseorang dari bepergian jauh, tapi yang menyediakan orang yang bepergian. Kalau yang menyediakan orang yang di rumah disebut walimah tuhfah;
6) Walimah Wakiirah untuk merayakan rumah baru;
7) Walimah Wadlimah untuk merayakan keselamatan dari bencana; dan
8) Walimah Ma'dabah yaitu perayaan yang dilakukan tanpa sebab sekedar untuk menjamu sanak saudara dan handai taulan.

Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah khitan termasuk yang tidak dianjurkan. Namun demikian secara eksplisit imam Nawawi menegaskan bahwa walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya sunnah memenuhi undangan seperti undangan lainnya.
walimah atau pesta karena khitan, syaikhul islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang hukum pesta penikahan, pesta kematian, pesta khitanan, dan pesta aqiqahan.
Beliau menjawab : Pesta pernikahan adalah sunnah, dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan, pesta kematian adalah bid’ah, haram untuk melakukan dan memenuhi undangannya, pesta khitanan adalah boleh (mubah), barangsiapa yang ingin melakukkannya silahkan dan siapa yang ingin meninggalkannya silahkan. Begitu juga dengan pesta kelahiran, kecuali kalau seandainya telah disembelih aqiqahannya, maka sesungguhnya penyembelihan itu hukumnya sunnah. Wallahu ‘alam.
Beliau juga berkata pada jawaban yang lain : adapun undangan pesta khitanan, maka hal itu tidak pernah dilakukan oleh para shahabat. Hukumnya mubah, kemudian sebagian ulama pengikut imam ahmad dan lainnya ada yang mengatakan hukumnya makruh. Sebagian mereka ada yang membolehkan, dan bahkan adalah yang menganjurkannya.(lihat Majmu’ Fatawa juz 32/ hal : 207).
Perkataan syeikhul islam Ibnu Taimaiyah, yang mengatakan boleh atau mubah, ini berdasarkan bahwa acara itu hanya semata makan-makan dalam rangka menampakkan rasa gembira, sehingga mengundang orang lain dalam kegembiraan itu. Acara itu bukan merupakan keharusan (wajib dilakukan) setiap khitanan.
Sebenarnya tidak ada sunnahnya melakukan pesta khitanan, sebab tidak ada dalil yang menganjurkannya, bahkan hal itu tidak pernah dikenal pada zaman nabi atau para shahabat sebagaimana atsar Utsman bin Abi Al Waqash, Al Hasan berkata : Utsman bin Abi Al Waqash pernah diundang untuk menghadiri pesta khitanan, maka beliau enggan untuk memenuhinya, lalu ditanyakan kepada beliau, lantas beliau menjawab : Sesungguhnya kami tidak pernah mendatangi pesta khitanan di zaman rasulullah dan tidak pernah pula kami diundang. (H.R. Ahmad).
Adapun apa yang terlihat di masyarakat kita, dengan mengadakan acara –acara tertentu dalam pesta khitanan, seperti musik, diarak beramai-ramai ke ziarah kuburan keluargannya, dimandikan dll, sehingga perbuatan itu merupakan unsur yang wajib dilakukan untuk setiap kali pelaksanaan khitan, bahkan kalau tidak melakukan hal itu khitannya tidak sah, atau kurang berkah dan lain-lain. Maka perbuatan itu termasuk bid’ah yang dimungkari, dan bukan hal seperti ini yang dikatakan oleh syaikul Islam.

 Hukum Memenuhi Undangan Pesta Khitan

Apa hukumnya memenuhi undangan pesta khitan? Apakah undangan tersebut wajib untuk dipenuhi?

Jawab: Abu Qasim al Kharqi Rahimahullah berkata,”Mengundang orang-orang untuk pesta khitan tidak pernah dikenal oleh orang-orang terdahulu dan orang yang diundangpun tidak wajib untuk mendatanginya. Di dalam sunnah hnya terdapat undangan pesta pernikahan.”
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata,”Kita dapat melihat para sahabat Nabi  yang menjadi suri tauladan, yakni sebagaimana yang tercantum dalam satu riwayat bahwasanya Utsman bin a`i ‘Ash pernah diundang ke pesta khitan, akan tetapi ia tidak memenuhi undangan tersebut. Lantas hal itu ditanyakan kepadanya. Ia menjawab, “Kami tidak pernah mendatagi undangan pesta khitan pada zaman Rasulullah  dan kami juga tidak pernah diundang untuk hal itu.”
Jika atsar ini shahih maka hokum semua undangan makan pada acara khitanan selain pesta pernikahan hukumnya adalah sunnah, sebab isi acara tersebut adalah memberi makanan kepada orang lain. Dan memenuhi undangannya hukumnya juga sunnah. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan ulama bermadzhab Hanafi.”
Al Anbari berkata, “Wajib memenuhi semua jenis undangan makan berdasarkan keumuman hadits Ibnu Umar Radhialahu Anhuma dari Nabi  bahwa beliau bersabda:

“Apabila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya maka hendakya saudaranya tersebut memenuhi undangan tersebut, baik undalgan pernikahan atau pun bukan.”(H.R. Abu Dawud)

Menurut kami, yang tercantum dalam sunnah yang shahih adalah perintah untuk memenuhi undangan hanya untuk pesta pernikahan saja, karena pesta tersebut berfungsi sebagai pengumuman, mengundang orang banyak, nyanyian, memukul rebana dan lain-lain yang jelas berbeda dengan undangan lainnya. Adapun perintah untuk memenuhi undangan selain pesta pernikahan hukumnya sunnah dengan alasan karena undangan tersebut tidak ditentukal untuk suatu hal saja. Dengan demikian, berdasarkan dalil ini, memenuhi semua undangan (selain pesta pernikahan) hukumnya adalah sunnah. Karena memenuhi undangan tersebut dapat memuaskan dan menyenangkan hati orang yang mengundang. Imam Ahmad juga pernah diundang ke pesta khitanan dan beliau memenuhi undangan tersebut serta menyantap hidangannya. Adapu bagi orang yang mengundang saudaranya untuk menghadiri pesta khitan tidak memiliki keutamaan apapun karena tidak ada dalilnya. Akan tetapi posisinya seperti undangan makan begitu saja, hanya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah dianugrahkan Allah kepadanya dengan mengundang makan teman dan rekan-rekannya. Dari sisi ini insya Allah ia akan mendapatkan pahala.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Al Majmuu’, “Adapun undangan untuk menghadiri pesta khitanan, tidak pernah dilakukan pada zaman sahabat dan hukumnya mubah atau boleh-boleh saja. Kemudian di antara ulama Hanabilah dan lain-lain memakruhkan pesta khitanan tersebut dan sebagian lain membolehkannya bahkan menganjurkannya.” Allahu A’lam

 Hukum berpestapora dalam perayaan khitan

Berpesta dalam perayaan khitan, kami tidak mendapatkan dasarnya sama sekali dalam syari'at Islam yang suci ini. Adapun perasaan senang dan gembira karenanya, merupakan hal yang sudah seharusnya, karena khitan merupakan perkara yang disyariatkan.Allah  telah berfirman, artinya:
"Katakanlah. Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah labih baik dari apa yang mereka kumpulkan." [Yunus : 58]
Khitan merupakan keutamaan dan rahmat dari Allah, maka membuat kue-kue pada saat dikhitan dengan tujuan untuk bersyukur kepada Allah  boleh dilakukan.

V. Hukum Khitan Dengan Laser

Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menanyakal hukum khitan dengan laser, ada sebagian yang mengharamkannya, dan ada sebagian yang membolehkannya. Bagaimana sebenarnya hukum Islam dalam masalah ini?
 Pengertian laser

Laser atau Light Amplification By Stimulated Emission Of Radiation adalah sinar yang disokong oleh tenaga atom (Dahlan Al Barri, Kamus Ilmiyah Populer, Arloka Surabaya, hlm : 401). Sebagian ahli mengatakan bahwa laser adalah sebuah alat yang menggunakan efek mekanika kuantum, pancapan ter-stimulasi, untuk menghasilkan sebuah cahaya yang koheren dari medium “lasing” yang dikontrol kemurnian, ukuran, dan bentuknya. Laser itu merupakan sinar panas yang dihasilkan dari loncatan atom akibat stimulasi energi dari radiasi listrik. Cahaya panas ini bisa digunakan untuk memotong kulit dan jaringan, menghancurkan pigmen warna kulit, dan pengobatan lainnya dalam dunia kedokteran dengan risiko pendarahan minimal dan waktu penyembuhan cepat.
Menurut para ahli bahwa sebenapnya layanan-layanan khitan laser yang banyak ditawarkan dewasa ini sesungguhnya tidak menggunakan alat operasi laser, tetapi hanya menggunakan alat pemotong listrik bertegangan tinggi (seperti solder) atau dalam istilah medis dinamakan Elektrocautery, yang kemudian dipahami secara keliru sebagai khitan laser.
Menurut para ahli bahwa sebenarnya layanan-layanan khitan laser yang banyak ditawarkan dewasa ini sesungguhnya tidak menggunakan alat operasi laser, tetapi hanya menggunakan alat pemotong listrik bertegangan tinggi .
Adapun media panas yang digunakan untuk memotong jaringan kulit/kulup bukanlah panas dari cahaya, tapi panas yang berasal dari elemen logam. Alat seperti ini digolongkan sebagai Low Frequent Electro Cauter (LFEC) dan tidak memiliki standarisasi keamanan secara medis, bahkan cara kerjanya mirip seperti setrika.
Operasi khitan dengan alat pemotong listrik ini tidak dianjurkan, karena selain penyembuhan lebih lama dan buruk, juga bisa menimbulkan jaringan parut yang lebih banyak pada bekas luka. Penggunaan LFEC dalam operasi dapat memproduksi efek luka bakar yang luas dan dalam pada jaringan kulit. Luka bakarnya bisa sampai 0,5 cm. Semua jaringan dan pembuluh darah akan terbakar dalam dan luas. Kalaupun khitan (sirkumsisi) dilakukan dengan benar, scar (kulit abnormal) yang ditimbulkan akan berbekas berupa geratan permanen atau membuat kulit keriput. (kamusarea.blogspot.com)

 Hukum khitan dengan menggunakan electro cauter (alat pemotong listrik)

Jika telah terbukti bahwa khitan yang selama ini dianggap menggunakan laser ternyata menggunakan elektro cauter, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hukum khitan dengan menggunakan alat tersebut? Padahal Rasulullah  melarang seseorang berobat dengan menggunakan al Kay (besi panas).
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita sebutkan terlebih dahulu hadist-hadist yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi  bersabda:

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي شَرْطَةِ مِحْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ أَوْ كَيَّةٍ بِنَإرٍ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

“Terapi pengobatan itu ada tiga cara, yaitu; berbekam, minum madu dan kay (menempelkan besi panas pada daerah yang terluka), sedangkan aku melarang ummatku berobat dengan kay. (HR Bukhari, no. 5680).

Kedua:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah rahimahullaah, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَدْوِيَتِكُمْ أَوْ يَكُونُ فِي شَيْءٍ مِنْ أَدْوِيَتِكُمْ خَيْرٌ فَفِي شَرْطَةِ مِ­ْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ أَوْ لَذْعَةٍ بِنَار وَمَا أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِيَ

“Apabila ada kebaikan dalam pengobatan yang kalian lakukan, maka kebaikan itu ada pada berbekam, minum madu, dan sengatan api panas (terapi dengan menempelkan besi panas di daerah yang luka) dan saya tidak menyukai kay.“ (HR. Bukhari, no. 5704 dan Muslim, no. 2205).

Ketiga:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah rahimahullaah, bahwasanya ia berkata:

رُمِي سعد بن معاذ في أَكْحَلِه فحَسَمَه رسولُ الله  بمِشْقَص، ثم وَرِمَتْ فحَسَمَه الثانية

“Sa’ad bin Mu’adz pernah kena bidikan panah di urat tangannya, kemudian Rasulullah  membedahnya dengan tombak yang dipanasi dengan api, setelah itu luka-luka itu membengkak, kemudian dibedahnya lagi.“ (HR. Muslim)

Keempat :
Dari Habir bin Abdullah rahimahullaah, bahwasanya ia berkata :

أن النبيَّ عث إلى أُبَيّ بن كعب طبيبًا، فقطع منه عِرْقًا، ثم كواه عليه

“Bahwasanya Rasulullah  pernah mengirim seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan al kay (besi panas).“ (HR Muslim, no. 4088)

Para ulama menyebutkan bahwa sebenarnya hadist-hadits diatas tidak menunjukkan keharaman berobat dengan al kay (besi panas) tetapi hanya menunjukan kemakruhan, jika ada obat lain, atau karena di dalam al kay mengandung penyiksaan terhadap dirinya. (Salim bin ‘Ied al-Hilali, Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Pustaka Imam Syafi’i, 2006, 3/202-204).
Berkata al Hafidh Ibu Hajar: “Kesimpulan dari penggabungan (hadits-hadits di atas) bahwa perbuataan Rasulullah  menunjukkan kebolehan (menggunakan al kay), adapun beliau meninggalkannya, dan memuji siapa saja yang meninggalkannya, maka tidaklah menunjukkan larangan, tetapi hanya menunjukkan bahwa meninggalkan hal tersebut lebih baik dari pada menggunakannya.
Adapun larangan beliau untuk menggunakan al kay, kemungkinan diterapkan jika ada pilihan lain, dan hanya bersifat makruh. Ataupun pada penyakit-penyakit yang memang bisa disembuhkan dengan cara lain. Wallahu A’lam“ (Fathul Bari, Kairo, Dar ar Royan,1987 M : 10/ 164)
Perkataan Ibnu Hajar di atas dikuatkan oleh Ibnu Ibnu Qayyim, beliau menulis : “Hadits-hadits al-Kay di atas mengandung empat hal: Pertama, bahwa Rasulullah  menggunakan al Kay. Kedua, beliau tidak menyukainya. Ketiga, beliau memuji orang yang bisa meninggalkannya. Keempat, larangan beliau terhadap penggunaan al-Kay. Keempat hal tersebut tidaklah bertentangan satu dengan yang lainnya- segala puji bagi Allah- .
Adapun perbuataannya menggunakan al Kay menunjukkan kebolehannya, sedangkan ketidaksenangan beliau tidak menunjukkan larangan, adapaun pujian beliau kepada orang yang meninggalkannya menunjukkan bahwa meninggalkan pengobatan dengan al Kay adalah lebih baik, sedangkan larangan beliau itu berlaku jika memang ada pilihan lain, atau maksudnya makruh, atau menggunakannya untuk hal-hal yang tidak diperlukan, seperti takut terjadi sesuatu penyakit pada dirinya.“ (Zaad al Ma’ad, Beirut, Muassasah al Risalah, 4/ 65-66)

 Apakah pengobatan al Kay menafikan rasa tawakal?

Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah rahimahullaah, dari Nabi  beliau bersabda:

مَنْ اكْتَوَى أَوْ اسْتَرْقَى فَقَدْ بَرِئَ مِنْ التَّوَكُّلِ

“Barangsiapa melakukan pengobatan dengan cara kay atau meminta untuk diruqyah berarti ia tidak bertawakal.” (Shahih, HR. at-Tirmidzi, no. 2055 dan Ibnu Majah, no. 3489).
Sebagian orang, salah di dalam memahami hadits di atas dan menyatakan bahwa pengobatan dengan al kay hukumnya haram, karena menafikan rasa tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Qutaibah telah menjawab pernyataan di atas dan menjelaskan bahwa al Kay ada dua bentuk: Pertama, al Kay untuk orang-orang yang sehat, supaya tidak terkena sakit, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang al ‘Ajam (non Arab). Mereka seringkali mengobati anak-anak dan para pemuda mereka dengan metode al Kay, padahal mereka dalam keadaan sehat. Mereka menganegap bahwa cara seperti itu bisa menjaga kesehatan mereka dan menjauhkan dari berbagai penyakit. Begitu juga orang-orang Arab pada masa jahiliyah mengikuti cara seperti itu, bahkan mereka menerapkannya pada unta-unta mereka jika terjadi wabah penyakit. Inilah bentuk al Kay yang dilarang oleh Rasulullah  karena menafikan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena menganggap bahwa dengan menyandarkan kepada kekuatan api, mereka tidak akan terkena sakit.
Kedua, adalah pengobatan dengan metode al Kay jika ada yang terluka pada salah satu anggota badan, atau terjadi pendarahan yang luar biasa dan hal-hal yang sejenis. Al Kay seperti inilah yang berpotensi untuk bisa menyembuhkan, dengan izin Allah. Sebab Rasulullah  sendiri pernah mengobati dengan cara al Kay terhadap As’ad bin Zurarah di lehernya (HR. Tirmidzi ).(Lihat Ta’wil Mukhtalafal al Hadits, 329).

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa khitan dengan menggunakan Elektro Cauter hukumnya makruh. Hal itu berdasarkan dua hal:

Khitan dengan menggunakan Elektro Cauter hukumnya makruh berdasarkan dua alasan

Pertama: Menurut keterangan para ulama berdasarkan hadits-hadits di atas bahwa operasi dengan menggunakan besi panas tidaklah dianjurkan, jika ada pengobatan dengan alternatif lain. Padahal kita ketahui khitan masih bisa dilakukan dengan menggunakan pisau atau gunting dengan cara manual.

Kedua: Selain itu, menurut pandangan medis bahwa khitan dengan Elektro Cauter banyak membawa efek negatif pada kesehatan kulit,sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Wallahu A’lam.


Demikianlah makalah yang berhasil saya susun.Semoga bisa bermanfaat.amiin

Referensi:
• Pendidikan anak dalam islam Jilid 1,Dr. Abdullah Nashih Ulwan
• Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3 hal 121-123 Darul Haq
• www.ahmadzain.com.
• groups.yahoo.com

1 komentar:

munirul ihwan asli ponorogo mengatakan...

trimakasih atas dimuatnya artikel tentang khitan ini. smoga semakin banyak yang tau tentang hikmah khitan. amiin

Posting Komentar